Opini: Dwi Hartoyo
22 Desember 2025
Kemerdekaan Republik Indonesia bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang rakyat yang menolak segala bentuk penindasan. Amanat itu tertulis jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun ketika melihat realitas di Provinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Lampung Tengah, pertanyaan mendasar patut diajukan: masihkah amanat kemerdekaan itu menjadi kompas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah?
Lampung Tengah adalah daerah agraris dengan potensi besar. Tanahnya subur, rakyatnya pekerja keras. Tetapi hingga hari ini, masih banyak masyarakat yang hidup dalam keterbatasan, menghadapi pelayanan publik yang belum sepenuhnya berpihak, serta kebijakan yang kerap terasa jauh dari kebutuhan rakyat kecil.
Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada simbol, baliho, dan janji politik. Ia harus hadir nyata dalam kebijakan yang adil, pelayanan yang manusiawi, serta keberanian pemerintah daerah untuk berdiri di sisi rakyat bukan di balik meja kekuasaan.
Di bawah kepemimpinan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Lampung Tengah, I Komang Koheri, SE, M.Sos, harapan publik kembali menguat. Masyarakat Lampung Tengah tentu berharap pemerintahan berjalan lebih baik, lebih bersih, dan lebih berani berpihak pada kepentingan rakyat luas. Terutama harapan agar 30 program yang disampaikan saat masa kampanye tidak berhenti sebagai janji politik, melainkan benar-benar diwujudkan secara nyata, terukur, dan transparan.
Momentum ini seharusnya menjadi titik balik. Plt Bupati memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa kekuasaan tidak harus menjauhkan pemimpin dari rakyat. Justru sebaliknya, kekuasaan adalah alat untuk memperbaiki arah, menutup celah ketidakadilan, dan mengembalikan makna kemerdekaan ke tangan masyarakat.
Pembukaan UUD 1945 tidak pernah mengamanatkan pejabat untuk nyaman di atas penderitaan rakyat. Konstitusi menuntut negara hingga ke tingkat daerah hadir bagi fakir miskin, petani, buruh, anak terlantar, dan seluruh warga yang masih berjuang hidup layak di tanah merdeka ini.
Sayangnya, dalam praktiknya, kritik sering kali dipersepsikan sebagai ancaman. Padahal kritik adalah roh demokrasi dan bagian dari perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Membungkam kritik sama artinya dengan menutup mata terhadap penyimpangan arah perjuangan.
Para pendiri bangsa tidak mengorbankan jiwa dan raga agar lahir penjajah baru dengan wajah kekuasaan lokal. Mereka memperjuangkan republik yang adil, berdaulat, dan bermartabat hingga ke desa-desa di Lampung Tengah.
Opini ini bukan serangan personal, melainkan peringatan konstitusional. Bahwa kemerdekaan sejati hanya akan hidup jika pemerintah daerah berani tunduk pada amanat UUD 1945 dan konsisten menjalankan janji politiknya.
Masyarakat Lampung Tengah menunggu bukti, bukan narasi. Menunggu kerja nyata, bukan sekadar pernyataan. Sebab sejarah selalu mencatat: jabatan akan berakhir, tetapi keberpihakan kepada rakyat akan diingat atau dilupakan selamanya. Tanggapi kritik sebagai saran yang bijak, bukan menyerang ataupun menjerumuskan.

