Putusan PN Semarang Dinilai Abaikan Rasa Keadilan, Kuasa Hukum Soroti Vonis 10 Bulan untuk Wisnu

Jakarta — Kuasa hukum orang tua Wisnu, Paulina Chrysanti Situmeang, S.H., M.H. dari Kantor Hukum John L Situmorang & Partners, menilai putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara Nomor 416/Pid.B/2025/PN Smg telah mengabaikan rasa keadilan yang hidup di masyarakat atau the living law.

Menurut Paulina, putusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat (1), yang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

“Seharusnya hakim tidak hanya terpaku pada keadilan formal, tetapi juga mempertimbangkan keadilan yang dirasakan masyarakat,” ujarnya.

Ia menegaskan, hakim semestinya memahami pendekatan Sociological Jurisprudence, di mana aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kondisi masyarakat menjadi bagian penting dalam pertimbangan putusan. Dengan begitu, putusan pengadilan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara substansi dan sosial.

Paulina juga menyoroti bahwa majelis hakim mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) sebesar Rp2,5 juta. Menurutnya, perkara yang menjerat Wisnu seharusnya masuk kategori Tipiring, bukan tindak pidana biasa.

“Namun fakta di persidangan, perkara ini dipaksakan menjadi tindak pidana umum, hingga Wisnu dijatuhi hukuman 10 bulan penjara,” jelasnya.

Ia menambahkan, jika dihitung, biaya yang harus dikeluarkan negara sejak proses penangkapan dan penahanan di Polsek Banyumanik, penuntutan, hingga vonis dan penahanan di Lapas Kelas I Semarang, jumlahnya sangat besar dan tidak sebanding dengan perkara yang ditangani.

“Kenapa sejak awal tidak ditempuh Restorative Justice? Polisi, jaksa, hingga hakim seharusnya bisa melihat ini sebagai perkara ringan yang bisa diselesaikan secara adil dan manusiawi,” tegas Paulina.

Menurutnya, kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana aparat penegak hukum gagal menangkap rasa keadilan masyarakat, padahal itulah ruh utama dari penegakan hukum itu sendiri.

Editor: M. Bakara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *